Archive for category Sejarah

Mads Johansen Lange


Beliau merupakan tokoh penting dari sejarah perkembangan Kuta. Mads Johansen Lange, adalah seorang pedagang berkebangsaan Denmark. Dia tidak saja pernah menguasai pelabuhan Kuta, menjadi syahbandar, tetapi juga menikahi gadis Kuta keturunan Cina. Makamnya pun masih ada di Kuta, di pinggiran Tukad Mati, By Pas Ngurah Rai Kuta.

Lange dilahirkan di Rudkobing Denmark 8 September 1807. Awalnya, Lange mengembangkan usaha dagangnya di Lombok bersama rekannya seorang Inggris kelahiran Denmark juga, John Burd. Pada perkembangan selanjutnya, Lange menetap di Tanjung Karang, sebuah pelabuhan di sebelah selatan Ampenan, sedangkan John Burd menetap di Canton (Cina).
Dalam pengembangan usahanya di Lombok, l.ange menjadi saingan berat George Peacock King, seorang pedagang Inggris. Karena ambisinya yang besar untuk memonopoli perdagangan di Ampenan, King diusir dari Lombok dan menetap di Kuta (Bali). Beberapa bulan kemudian King kembali lagi ke Lombok dan menempatkan dirinya cli bawah perlinungan di bawah Raja Mataram-Lombok. Sementara Lange mendapat perlindungan dari Raja Karangasem-Lombok.
Persaingan kedua pedagang ini sampai berbuah peperangan di antara kedua kerajaan. Peperangan ini berakibat kalahnya Raja Karangasem-Lombok. Mads Lange kemudian diusir dari Lombok. Karena diusir dari Lombok, Lange dengan kapal dagang kecilnya Venus, mendarat di Kuta. Di daerah inilah dia kemudian mengembangkan kembali usahanya. Dia harus melunasi hutang-hutang luar negennya yang beqitu besar.
Dengan ketekunan dan pintar bergaul dengan orang lokal, terutama dengan raja-raja di Bali, dia berhasil dalam jangka waktu pendek untuk menyusun kembali perdagangannya. Usaha dagangnya malah menjadi saingan berat dari kantor dagang Belanda di Kuta, De Nederlansche Handelsmaatschappij.
Tak cuma itu, Lange kemudian bisa merebut hati Raja Kesiman, I Gusti Gde Ngurah Kesiman. Dia mendapat kepercayaan yang luar biasa dari raja berpengaruh di kerajaan Badung itu. Malah dia ditunjuk sebasai syahbandar di pelabuhan Kuta. Lange pun bisa menjalin hubungan yang cukup baik dengan Dewa Agung Klungkung yang dianggap sesuhunan raja-raja Bali-Lombok. Kepercayaan besar yang diberikan Raja Kesiman memang sangat menguntungkan posisi Lange. Dia dapat memegang monopoli perdagangan seperti budak hingga uang kepeng Cina yang ketika itu menjadi mata uang yang paling banyak beredar. Kapal-kapal Lange pun terus bertambah dan pada waktu itu suudah mencapai 15 buah sehingga aktivitas perdagangannya juga sudah meluas sampai ke Asia.
Lange juqa memerankan politik standar ganda. Selain menjadi kepercayaan raja-raja Bali dia juga dipercaya menjadi Wakil Pemerintah Hindia Belanda di Bali. Dalam posisi inilah dia banyak berperan dalam perkembangan politik Bali. Bahkan, dengan politik diplomasinya Lange dapat dianggap berjasa dalam mewujudkan perdamaian antara raja-raja Bali dan Belanda pasca peristiwa Perang Kusamba, 24 -25 Mei 1849.
Tatkala pimpinan pasukan Belanda, Letkol V Swieten hendak menyerang Klungkung setelah berhasil menduduki Kusamba’ Lange menakut-nakuti Swieten dengan menyatakan di Klungkung telah berkumpul 33.000 pasukan yang siap membela Dewa Agung jika Belanda menyerang. Pasukan itu merupakan gabungan dari Tabanan, Badung, Gianyar, dan Mengwi. Belanda akhirnya menyurutkan langkahnya menyerang Klungkung. Lange dan sahabatnya, Raja Kesiman berhasil meyakinkan Belanda bahwa keinginannya menyerang Klungkung akan berakibat fatal.
Puncak dari perdamaian itu adalah ditandatanganinya. Perjanjian antara Belanda dan raja raja Bali di rumah Mads Lange sendiri di Kuta tanggal 13 Juli 1849. Walaupun perjanjian itu secara politis merugikan Bali, namun hasil yang dicapai saat itu tergolong maksimal.
Atas jasanya itu, Lange dianugerahi tanda jasa kehormatan yang tinggi yakni bintang Ridder in de Orde van de Nederlandsche Leeuw oleh pemerintah Hindia Belanda.

Status Lange sebagai pendatang sekaligus dekat dengan lingkaran kekuasaan tidaklah membuat Mads Johansen Lange berjarak dengan masyarakat Kuta. Apalagi posisinya yang sangat strategis sebagai syahbandar kepercayaan Raja Kesiman dan wakil pemerintah Hindia Belanda di Bali membuatnya membuatnya mendapat tempat yang istimewa di antara penduduk Kuta di abad ke-19 silam.
Almarhum I Ketut Peling BA dalam tulisannya berjudul Yavasan Pembangunan Desa kuta Suatu Inovasi yang dimuat dalam buku Menyambut Dasa Warsa Yayasan Pembangunan Desa Kuta menyebutkan Lange sampai mengawini seorang gadis’Kuta keturunan Cina yang bernama The Sang Nio. Putri Lange yang bernama Cicilie disebutkan kawin dega Raja Johor yang bergelar Abu Bakar.
Pada pertengahan abad ke 19, di Kuta memang bermukim ut sekitar 30 kepala keluarga keturunan Cina. Seperti ditulis Pierre Dubois dalam laporannya kepada Residen Besuki tanggal 27 Juni 1831, orang-orang Cina itu kebanyakan merupakan pelarian dari berbagai daerah di Indonesia dan berprofesi sebagai pedagang. Hingga kini masih ada keluarga etnis Cinadi Kuta dan membentuk banjar suka duka Dharma Semadhi
Keterlibatan Lange dalam perkembangan politik di Bali akhirnya membawa imbas bagi usaha dagangnya termasuk bagi pelabuhan Kuta sendiri. Usaha perdagangannya mengalami kemunduran dan Kuta sebagai pusat perdagangan kian merosot. Kapal-kapal dagang banyak yang pindah ke Buleleng dan sebagian lagi ke Padangbai Karangasem . Terlebih lagi tatkala jatuh secatra total ke tangan Belanda setelah peristiwa Puputan Badung 20 September 1906, status Kuta sebagai kota pelabuhan digantikan oleh Benoa. Lange sendiri akhirnya meninggal pada tanggal 13 Mei 1856. Dia dimakamkan dekat rumahnya.

by Sujaya Made

 

Leave a comment

“Raja-raja Bali Kuno”


Raja-Raja Bali Kuno Yang Berkuasa Di Bali Sebelum Ekpansi Majapahit Tahun 1343

Prasasti adalah ketetapan resmi yang dikeluarkan oleh para raja Bali Kuno. Prasasti menjelaskan tentang aturan yang telah disepakati bersama. Teks prasasti jarang menjelaskan tentang asal usul keturunan para raja itu. Karena tidak dijumpai secara pasti n…ama keturunannya, juga secara parsial terputus tahun prasasti yang dikeluarkan dari raja satu ke raja yang lain, maka menimbulkan berbagai macam penafsiran tentang kisah peristiwa apa yang telah terjadi dalam kehidupan mereka terdahulu. Adakah hubungan kekerabatan antara raja satu dengan raja sebelumnya, berapa lama mereka berkuasa, tahun berapa mereka meninggal dan dimana dicandikan? Adakah terjadi pengambilalihan kekuasaan secara paksa dari kerabat dekat raja maupun dari orang luar?

Sejarah pemerintahan raja-raja Bali Kuno, tidak ditemukan peralihan kekuasaan dengan cara paksa, dalam arti jika sang raja meninggal, tapuk pemerintahan akan digantikan oleh istri dan atau anaknya. Apabila sang anak masih kecil, belum cukup umur untuk berkuasa, maka akan digantikan oleh sang paman atau kerabat dekat raja yang lain. Apabila ‘buntu’ tak ada yang mau menggantikan, maka akan dipakai metode yang lain, melaui jalan ‘niskala’, dengan jalan minta petunjuk “nedunang ida bhatara”Hal seperti ini terlihat dalam teks Purana Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh, dimana Sri Pasung Gerigis, seorang nyuklabrahmacari (tidak kawin seumur hidup), untuk mencari penggantinya sebagai orang suci di Pura Lempuyang, Gamongan, Karangasem.

Setelah terkumpul salinan naskah-naskah kuna itu, lalu kita telisik, prasasti satu dengan yang lain dirunut menurut angka tahun dan nama raja yang mengeluarkan prasasti itu. Kadang-kadang terlihat nama samar, dengan perkataan lain, beda nama tetapi orangnya satu, misalnya, antara Raja Sri Jayasakti, Sri Gnijaya Sakti, Sri Gnijaya dan Sri Ragajaya. Masa pemerintahan ke empat nama raja ini, menurut tahun Prasasti dan Purana, yang dikeluarkan berkisar tahun 1119–1177 Masehi. Dalam prasasti nama Sri Gnijaya Sakti dan Sri Gnijaya tidak muncul, jadi tidak ada prasasti yang dikeluarkan, sebagaimana umumnya raja raja yang lain. Begitu pula dengan raja Sri Ragajaya, hanya mengeluarkan satu prasasti yang disebut Prasasti Tejakula, tahun Isaka 1077/1155 Masehi. Sedangkan Raja Sri Jayasakti mengeluarkan prasasti terakhir pada tahun Isaka 1072/1150 Masehi, yang disebut Prasasti Sading Kapal. (Poeger, 1964:105). Tetapi dalam naskah Purana Bali Dwipa, Piagem Dukuh Gamongan, Prasasti Pura Puseh, Sading, Kapal, Purana Pura Batu Karu, Purana Pura Pucak Bukit Gede, dan beberapa naskah lainnya, akan terlihat jelas kisah kehidupan para raja Bali Kuna itu.

Teks Piagem Dukuh Gamongan dan Prasasti Pura Puseh Sading, Kapal, nama raja Sri Jayasakti identik dengan Sri Gnijaya Sakti, begitu juga putranya diberi nama sama dengan ayah kandung Sri Gnijaya juga (tanpa ident sakti di belakang namanya). Sedangkan nama Sri Ragajaya tidak muncul dalam purana manapun, Dalam kamus Jawa Kuna (Zoetmulder, 1994:899), kata raga artinya warna merah,Warna merah identik dengan warna Api atau Gni. Dari analisis ini raja Sri Ragajaya adalah nama lain dari Sri Gnijaya, raja ini banyak menjadi titik awal dalam penulisan piagem, purana, babad, prakempa,pamancangah lainnya yang ada di Bali masa kini.

Demikian pula setelah Raja Sri Aji Hungsu berkuasa muncul nama Sri Walaprabhu yang menggantikannya. Raja Walaprabhu mengeluarkan tiga prasasti yang disebut prasasti Babahan, Klandis, Babi A, menjadi raja Bali tahun 1079–1088 Masehi (Semadi Astra, 1977:21).

Dalam purana, raja Sri Walaprabhu tidak muncul nama itu, yang muncul menggantikan Sri Aji Hungsu adalah Sri Sakalindu Kirana, anak dari Sri Aji Hungsu yang beribu bangsawan. Hanya satu prasasti yang dikeluarkan raja Sri Sakalindu Kirana yang disebut prasasti Pengotan, Isaka 1010/1088 Masehi. Padahal dalam Purana Bali Dwipa, Purana Pura Pucak Bukit Gede, raja Sri Sakalindu Kirana berkuasa selama 20 tahun dan digantikan oleh adiknya Sri Suradipa yang berkuasa selama 15 tahun.

Dengan demikian Walaprabhu diperkirakan seorang janda yang menjadi raja, kemungkinan setelah Sri Aji Hungsu meninggal, kemudian tapuk pemerintahan diganti oleh sang permaisuri yang seorang janda, maka disebut Waluprabu. Atau analisis lain, dalam Kamus Jawa Kuna, kata walaprabhu berasal dari bahasa sanskerta, dari urat kata wala dan prabhu, Wala artinya muda, kekanakan, tidak tumbuh atau belum berkembang penuh, muncul baru, tolol, junior. Prabhu artinya raja, Jadi walaprabhuartinya raja muda, raja junior. Dengan demikian setelah Sri Aji Hungsu meninggal tapuk pemerintahan digantikan oleh permaisuri bersama putri mahkota yang masih kecil, bersama-sama menjadi penguasa Bali pada era itu.

Tetapi kebalikkan dari purana ini yaitu dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Aji Hungsu selalu menyebutkan, paduka haji anak wungsu kalih bhatari lumah ing burwan, bhatara lumah ing banu wka,artinya, raja Sri Aji Hungsu setiap mengeluarkan prasasti selalu mencantumkan almarhumah ibunya yang dicandikan di Buruwan, dan almarhumah ayah yang dicandikan di Banyu Wka. Sedangkan dalampurana tidak muncul nama Sri Aji Hungsu mengatasnamakan almarhum kedua orangtuanya yang dikebumikan di Bhurwan dan Banu Wka. Yang dicandikan di Buruwan adalah Ibunda Sri Mahendradatta dan di Banu Wka (Gunung Kawi) dicandikan ayahnda yaitu Sri Udayana.

Demikian pula dengan nama raja Sri Ajnadewi yang berkuasa setelah Sri Udayana. Hanya satu prasasti dikeluarkan oleh raja Sri Ajnadewi yang disebut prasasti Sembiran, tahun Isaka 938/1016 Masehi. Pertanyaannya siapakah Sri Ajnadewi? Di dalam Purana Bali Dwipa, Sri Udayana meninggal dunia Isaka 940/1018 Masehi, dicandikan di Banu Wka. Sri Ajnadewi tidak muncul dalam purana mana pun. Begitu pula dalam teks Purana Bali Dwipa, tertulis Sri Marakata berkuasa bersama-sama ibunya sebagai penguasa Bali pada era itu.

Sedangkan dalam prasasti yang dikeluarkan tidak kelihatan bahwa raja Sri Marakata berkuasa bersama ibunya. Kalau boleh diartikan secara bebas, Sang Ajnadewi artinya seorang dewi yang mahir dalam bidang ilmu waskita. Dalam dongeng serat calonarang yang ada di Bali, permaisuri Sri Udayana yang bernama Sri Mahendratta Gunaprya Dharmapatni sering dihubungkan ahli dalam ilmu mistis. Raja ini dimakamkan di Buruwan, dikuburanya terlukis arca Durga Mahisasura Wardhini. Arca ini menguatkan dugaan orang bahwa Mahendradatta sebagai penganut ajaran-ajaran ilmu gaib dan Dewi Durgalah yang menganugrahinya kesaktian. Jadi Sri Ajnadewi nama lain dari Sri Mahendratta Gunapriya Dharmapatni.

Begitu pula dengan nama Sri Taruna Jaya identik dengan Sri Jayasunu. Catatan prasasti tembaga di Banjar Srokodan, Perbekel Abuan, Susut, Bangli, dialih aksara dan diterjemahkan oleh Putu Budiastra, disebut prasasti Srokodan (Bhatara Guru), satu-satunya prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Taruna Jaya, tahun Isaka 1246/1324 Masehi untuk desa Hyang Putih dan sekitarnya.

Tetapi dalam Piagem Dukuh Gamongan, Sri Dewa Lencana menurunkan putra Sri Taruna Jaya. Tidak muncul Sri Taruna Jaya menurunkan putra buncing (kembar laki perempuan) Sri Masula dan Sri Masuli (Prabhu buncing). Dalam Purana Bali Dwipa muncul Sri Jayasunu mempunyai putra buncing bernama Sri Masula dan Sri Masuli menjadi raja Bali tahun 1324 Masehi. Sri Jayasunu satupun tidak mengeluarkan prasasti sebagai mana raja yang lain. Sedangkan dalam salinan lontar Aji Murti Siwasasana ning Bwana Rwa, milik Desa Pakraman Gamongan, muncul nama Sri Jayasunu yang mengeluarkan pedoman itu disaat rapat besar di Majapahit. Dan beberapa purana lain muncul nama Sri Jayasunu yang menjadi pedoman awal dalam penulisan.

Salinan lontar Aji Murti Siwa Sasana dan Purana Bali Dwipa tersebut diatas tidak secara tegas tahun berapa naskah itu ditulis, siapa yang dimaksud dengan Sri Jayasunu? Siapakah orang tua Sri Jayasunu? Kamus Jawa Kuna, oleh P.J. Zoetmulder (1994:1147), sunu artinya putra, anak, keturunan. Jadi Sri Jayasunu artinya raja keturunan Jaya. Tidak terdapatnya prasasti-prasasti Bali yang dikeluarkan oleh raja Sri Jayasunu, membuat kekaburan perjalanan sejarah keturunan raja-raja Bali Kuno. Yang dimaksud keturunan Jayasunu (turunan jaya) disini adalah turunan dari Sri Jayasakti nama lain Sri Gnijaya Sakti yang menjadi raja Bali pada tahun Isaka 1041/1119 Masehi, yang menurunkan 5 putra. Putra ke dua dari Sri Jaya Sakti bernama Sri Maha Sidhimantradewa, menurunkan putra bernama Sri Dewa Lencana, menurunkan putra Sri Taruna Jaya. Dengan demikian Sri Taruna Jaya adalah turunan Jaya juga, tiga generasi setelah Sri Jaya Sakti. Dari analisis ini Sri Jayasunu adalah turunan Jaya versipurana, identik dengan Sri Taruna Jaya turunan Jaya versi Prasasti Srokodan dan Piagem Dukuh Gamongan. Demikian juga dengan putra dari Sri Jayasunu yaitu Sri Masula-Sri Masuli, dalam prasasti satu pun tidak ada disebutkan atas nama Sri Masula-Sri Masuli, dalam purana Bali Dwipa setelah menjadi raja beliau disebut Bhatara Mahaguru Dharma Hutungga Warmmadewa.

Demikian juga dengan putra Sri Masula Masuli yaitu Sri Tapa Hulung nama lain Sri Batu Ireng setelah menjadi raja bergelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten, menjadi raja Bali tahun Isaka 1250/1328 Masehi, nama kerajaan Batahanar. Jikalau data awal penulisan bersumber dari Purana dan Babad, maka nama Sri Batu Ireng atau Sri Tapa Hulung satu pun tidak ada mengeluarkan prasasti sebagaimana layaknya raja-raja yang lain.

Demikian juga dengan Sri Kbo Iwa dan Sri Karang Buncing. Dalam mitologi yang dikenal masyarakat Bali hingga kini, Kebo Iwa adalah seorang patih sakti pada masa akhir Bali Kuno. Ia digambarkan seorang lelaki bertubuh besar, tinggi, gagah perkasa serta sakti. Kebo Iwa disebut-sebut bertempat tinggal di Blahbatuh, sebelah baratdaya kota Gianyar. Selain sebagai patih sakti, Kebo Iwa dikenal juga sebagai seorang arsitek (undagi). Banyak bangunan-bangunan kuno sebagai hasil karyanya. Tetapi dalam prasasti yang dikeluarkan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, satu pun tidak muncul nama Kebo Iwa sebagai mahapatih kerajaan Badhahulu dan kisah kehidupannya.

Secara administratif, dalam Prasasti Langgahan, Isaka 1259/1337 Masehi, yang dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, terdapat beberapa senapati (mahapatih) kerajaan yang menyaksikan dikeluarkannya prasasti dikala itu, antara lain, senapati kuturan makakasir mabasa sinom (sang mahapatih di wilayah kuturan bernama makakasir mabasa sinom), sang senapati sarbwa makakasir candri lengis, sang senapati wrasanten makakasir jagatrang, sang senapati dinganga makakasir gagak lpas, dan beberapa senapati lainnya.

Kebo Iwa hanyalah sebagai penjaga pos keamanan untuk daerah Batahanar dan Blahbatuh, Ki Tambyak penjaga pos keamanan di Jimbaran, Ki Bwahan di Batur, Si Tunjung Tutur di Tenganan, Ki Pasung Grigis di Tengkulak, serta para ksatria lainnya yang menyebar di jagat Bali. Sedangkan dalampurana, prakempa, babad, pamancangah, lainnya Kbo Iwa adalah mahapatih kerajaan Badhahulu. Sedangkan dalam Purana Pura Luhur Pucak Padang Dawa, Kebo Iwa diberi sebutan bhatara amurbeng rat, dewa gede kebo iwa, bhatara gede sakti, bhatara guru, dan sebagainya.

Demikian juga dengan Sri Karang Buncing, karena nyineb wangsa (menutup asal usul), sehingga dalam kehidupan sosial di masyarakat ada menyebut, arya karang buncing, gusti karang buncing, prabali karang buncing, pasek karang buncing, sri arya karang buncing, karang gaduh, bendesa karang buncing, arya kedi dan soroh karang, lainnya.

Jadi kesimpulannya ,,, walaupun mempunyai data BABAD sebagai pedoman klompok warga tetapi tidak kelihatan dalam purana dan prasasti maka data itu diragukan kebenarannya alias ngambang. Begitupun jika ada PRASASTI di pura tetapi tak ada tertulis dalam PURANA dan PIAGEM maka teks itu perlu dianalisis ,,,, juga walaupun mempunyai data PIAGEM (data milik klompk warga) dan tidak tertulis dalam PRASASTI dan PURANA maka isi naskah itu juga ngambang, ,,,, jadi harus pas antara prasasti, purana, piagem saling menceritakan ,,,Dalam prasasti akan kelihatan nama raja setelah ngadeg ratu sedangkan dalam purana masih tertulis nama keluarga, begitu juga dalam piagem muncul kisah leluhur mereka terdahulu dan hubungannya antara raja satu dgn raja sebelumnya. Dalam purana dan piagem tidak kelihatan prasasti2 yg dikeluarkan oleh para raja bali kuno itu ,,,

Bila penulisan awal sejarah Bali hanya bersumber dari prasasti prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang bersangkutan, akan terlihat mereka berkuasa sangat pendek, ini terlihat berdasarkan awal dan akhir tahun prasasti yang dikeluarkan. Dalam prasasti tidak tertulis hubungan kekerabatan raja satu dengan raja yang lainnya, dan tidak kelihatan kisah kehidupan mereka. Sedangkan dalam purana kadang-kadang mereka berkuasa melebihi dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan, serta asal asul dan kisah peristiwa yang terjadi kepadanya sangat jelas. Hanya orang-orang penting yang berkuasa pada zamannya akan tercatat dalam buku sejarah Bali.

Sri Kbo Iwa dan Sri Karang Buncing banyak mempunyai nama samar, tergantung masyarakat hendak menggambarkan beliau itu dari sisi yang mana, apakah kisah kehidupannya mau dimitoskan, dilecehkan, dipolitisir, dibudayakan, disucikan, atau dihilangkan dan sebagainya, tentunya akan berdampak mendoktrin pikiran generasi selanjutnya tentang perjalanan sejarah Bali di masa datang.

Runutan nama raja yang berkuasa di Bali, bersumber dari Prasasti, Purana, Piagem, Babad, Prakempadan Pamancangah lainnya, berikut:

1)      Sri Kesari Warmmadewa (isaka 804-835)

2)      Sri Ugrasena (isaka 837-858).

3)      Sri Haji Tabanendra Warmmadewa (877-889).

4)      Sri Jaya Singa Warmmadewa (isaka 892).

5)      Sri Janasadhu Warmmadewa (isaka 897).

6)      Sri Maharaja Cri Wijaya Mahadewi (isaka 905).

7)      Sri Dharmodayana + Mahendradata (isaka 911-933).

8)      Sri Sang Ajnadewi (isaka 938).

9)      Sri Wardana Marakata (isaka 944-948).

10)  Sri Haji Hungsu (isaka 971-999).

11)  Sri Walaprabu (isaka 1001-1010).

12)  Sri Sakalindu Kirana (isaka 1010-1023).

13)  Sri Suradhipa (isaka 1037-1041).

14)  Sri Jayasakti (isaka 1055-1072).

15)  Sri Gnijaya (isaka 1072-1077).

16)  Sri Ragajaya (isaka 1077-1099).

17)  Sri Maharaja Haji Jayapangus (isaka 1099-1103).

18)  Sri Hekajaya Lancana (isaka 1103-1122).

19)  Sri Adi Kuti Ketana (isaka 1122-1126).

20)  Sri Adi Dewa Lancana (isaka 1126-).

21)  Sri Indra Cakru (isaka 1172).

22)  Pasukan Kertanegara (1206-1214).

23)  Rajapatih Sri Jaya Katong (isaka 1214-1218).

24)  Sri Taruna Jaya (isaka 1226).

25)  Sri Masula-Masuli (isaka1246-1250).

26)  Sri Astasura Ratna Bumi Banten (isaka 1259-1265).

27)  Expansi Majapahit (isaka 1265/1343 M).

28)  Kyayi Agung Pasek Gelgel (isaka 1265-1272).

29)  Dalem Samprangan (isaka 1272).

30)  Dalem Gelgel/Sri Kresna Kepakisan (isaka1302).

31)  Dalem Waturenggong (isaka 1382).


oleh : Watukembar

Leave a comment

Pura Agung Besakih


Pura Agung Besakih pada awalnya merupakan tempat penanaman “Pancadatu” untuk menghindari mala petaka.

Pura Agung Besakih merupakan pura terbesar di Bali yang dibangun di barat daya lambung Gunung Agung. Apa saja yang bisa disimak dari Pura Agung ini? Makna apa yang kira-kira bisa didapat dari ungkapan arsitekturnya? —————

Pura Agung Besakih berlokasi di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Mungkin sudah ribuan cerita pernah diungkap dan ditulis tentang keagungan pura terbesar di Bali ini. Namun sampai kini belum ditemui data pasti mengenai kapan pura ini pertama kali didirikan. Informasi berupa data yang bernilai historis maupun prasasti-prasasti yang diperoleh hanya sebatas wujud pengembangan puranya. Hanya sekilas, konon ada dimuat dalam lontar “Markandya Pura”, mengisahkan kedatangan Rsi Markandya bersama para pengikutnya dari Jawa Timur ke pulau Bali.

Namun ada sumber lain yang menyebutkan bahwa Rsi Markandya datang ke Bali sekitar abad ke-8. Disebutkan, mereka datang merabas hutan guna dijadikan lahan pertanian. Sebelum pekerjaan itu dilakukan, dilangsungkan upacara penanaman pancadatu (lima jenis logam mulia) seperti emas, perak, tembaga, timah, besi, dengan maksud agar tak tertimpa petaka atau marabahaya. Penataannya disesuaikan dengan tatanan kosmologis (pengider-ider) jagat. Nah, tempat penanaman pancadatu itulah akhirnya dinamakan Basuki, yang punya arti rahayu (diberi keselamatan). Lantas para ahli memperkirakan tempat itu sebagai Pura Agung Besakih. Banyak pakar menilai, Pura Agung Besakih dalam masyarakat Bali punya hubungan yang sangat erat antara adat-istiadat dan kultur yang dilandasi oleh nilai-nilai ajaran agama Hindu sebagai satu kesatuan sistem socioculture masyarakat Bali yang bersifat sosial religius.

Dengan kata lain sebagai wujud cerminan nilai-nilai falsafah Hindu yang amat religius, indah, menakjubkan dan bervibrasi spiritual. Mpu Kuturan Beberapa abad kemudian, Mpu Kuturan datang, melakukan penataan kembali Pura Agung Besakih sekitar tahun 929 Saka (1007 M) semasa pemerintahan Raja Udayana. Ada dikisahkan, penataan itu bertitik tolak dari Pura Paninjoan, yang dalam mata batin beliau menghayati dan memahami secara holistik tatanan itu sebagai satu kesatuan utuh (unity), untuk mencermati dan menyempurnakan penataan pancadatu yang dilakukan Rsi Markandya sebelumnya.

Berangkat dari penataan itulah mulai ada kejelasan adanya area pokok atau inti, area penyangga (diwujudkan dalam konsep Catur Lawa, seperti Pura Penyarikan, Pande, Ratu Pasek, Seganing), dan area penunjang. Pada area inti antara lain terdapat candi bentar, bale pegat, bale kulkul, bale pelegongan, bale pegambuhan, bale ongkara, kori agung, bale pawedan, bale agung, bale pesamuan agung, bale tengah, bale papelik, beberapa meru tumpang 11, tumpang 9, tumpang 7, tumpang 5, tumpang 3, sanggar agung, bale tengah, bale paruman alit, bebaturan, bale kembang sirang, bale gong, gedong bale panggungan, dan bale kampuh. Area inti disebut sebagai sapta petala (area tujuh lapis) atau kerap pula disebut area luhuring ambal-ambal. Pembagian ini bercermin dari adanya teori tujuh pelapisan alam. Area ini juga dibagi berdasarkan konsep triloka — alam bawah (bhur), tengah (bwah), atas (swah) yang dalam bahasa keilmuan semesta disebut lapisan hidrosfer, litosfer dan atmosfer. Konsep tersebut di ataslah kemudian melahirkan konsep sapta mandala (dibagi tujuh ruang) dalam area inti, dari hulu hingga jaba sisi.

Perhatian Raja Periode berikutnya berlanjut pada zaman kerajaan Gelgel, khususnya pada era pemerintahan Dalem Waturenggong. Lontar Raja Purana “Pangandika ring Gunung Agung” menyebutkan bahwa keberadaan Pura Besakih kian memperoleh perhatian besar tatkala era keemasan kerajaan Gelgel di bawah pemerintahan Dalem Waturenggong. Disebutkan pula, Pura Besakih, selain berfungsi sebagai sthana Dewa Sambu di timur laut pangider bhuwana, pun dalam ritualnya berfungsi sebagai titik sentral. Lantas Besakih dinyatakan sebagai parahyangan “Madyanikang Padma Bhuwana”, berstatus sebagai Pura Sad Kahyangan (Padma Bhuwana) dan Penyungsungan Jagat. Dikisahkan, dalam masa kejayaan Dalem Waturenggong, Raja dikenal sangat arif bijaksana dalam memimpin pemerintahan. Pada saat inilah diperkirakan sejumlah padharman tumbuh di Bali. Pada zaman ini pula diceritakan datang seorang tokoh agama, Mpu Dwijendra pada 1489 M dari Jawa ke Bali yang diangkat oleh Raja sebagai Bhagawanta Istana. Konon salah satu muridnya yang terkenal pada waktu itu adalah Rakryan Panulisan Dawuh Bale Agung yang berperan sebagai Penyarikan Dalem, lantaran beliau memiliki keahlian di bidang kesusastraan dan filsafat. Di era kedatangan Mpu Dwijendra (Dang Hyang Nirartha) dari Majapahit inilah dibangun pula Padmasana Tiga di Penataran Agung Besakih.

Kawasan Pura Besakih memang sangat luas. Terdapat tak kurang dari 18 Pura Pakideh (pura yang tergolong pura umum), 13 pura pedharman dan lebih dari 15 pura paibon. Sebagaimana sudah disebut, ada area inti, penyangga dan penunjang, maka memasuki kawasan Pura Agung Besakih, dari bagian hilir/bawah (soring ambal-ambal) hingga ke hulu, terdapat beberapa gugus pura.

Paling depan dari kompleks pura itu adalah Pura Pasimpangan. Sesudahnya, ada Pura Tirta Sudamala. Berikutnya Pura Dalem Puri, Pura Tirta Empul dan Pura Manik Mas — terletak di seberang timur jalan dan sungai. Kelompok pura selanjutnya yang tempatnya paling berdekatan adalah Pura Bangun Sakti, Pura Tirta Tunggang, Pura Goa Raja, Pura Ulun Kulkul (Catur Lokapala-Barat). Tak jauh dari situ, berdiri Pura Merajan Selonding, Pura Merajan Kanginan dan Pura Banua Kawan. Selain itu dapat dijumpai adanya wantilan, Pura Mrajapati Hyangaluh dan Bancingah Agung. Sebelum menapaki sejumlah tangga (undag-undag), area terdepan dari kompleks Pura Penataran Agung, pemedek akan melewati sisi kanan dari Pura Basukian. Usai melewatinya, pemedek akan dapat melangkah di undag bagian tengah yang hendak menuju Pura Penataran Agung Besakih (sebagai pusat tengah) maupun melalui undag samping yang hendak menuju Pura Pasimpenan Dukuh Sedaning, Pura Ratu Pasek, kompleks pura pedharman, Pura Ratu Penyarikan, Pura Kiduling Kreteg, hingga ke Pura Gelap (Catur Lokapala-Timur), Pura Pangubengan dan Pura Tirta Pingit. Di sayap kanan (sebelah barat laut) dari Pura Penataran Agung terhadap Perantenan Suci.

Tak jauh dari tempat ini terdapat Pura Ratu Pande (Catur Lawa), Pura Batumadeg (Catur Lokapala-Utara), Pura Tirta Sangku, Pura Paninjoan dan Pura Dukuh Sedaning (Catur Lawa).

oleh Nyoman Gde Suardana pada 31 Maret 2011 jam 9:46

Leave a comment